Semenjak pihak Taliban menyerang beberapa daerah di Pakistan dan mengancam stabilitas bangsa, umat Kristiani disana merasa khawatir bahwa provinsi mereka akan menjadi daerah diberlakukan hukum Islam berikutnya.
Kekerasan terhadap umat Kristiani kembali terjadi pada Selasa malam dan Rabu, 21-22 April, di dekat kota pelabuhan Karachi (hampir 700 mil dari Swat Valley). Awal mula peristiwa tersebut adalah ketika itu umat Kristiani di kota Taiser, dekat Karachi, melihat tulisan graffiti pada dinding gereja mereka. Tulisan tersebut berbunyi, "Hidup Taliban" dan panggilan bagi umat Kristiani agar masuk Islam atau membayar jizye, pajak yang di bawah hukum syariah Islam yang dibebankan kepada umat non-muslim sebagai bentuk perlindungan bagi mereka yang menolak mengubah kepercayaannya.
Melihat dinding gereja mereka sudah kotor dengan tulisan graffiti propaganda tersebut, para anggota jemaat berniat menghapusnya, Namun, tulisan graffiti belum seluruhnya dibersihkan tiba-tiba seorang pria bersenjata menghentikan kegiatan mereka. Lalu, datang lagi 30-40 orang lain menenteng senjata dan mulai menembaki masyarakat di sekitar gereja tersebut. Kejadian tersebut meninggalkan beberapa orang luka-luka.
Di antara mereka yang terluka parah ada tiga orang Kristen, termasuk seorang anak, menurut laporan Lembaga Advokasi Kepedulian kelompok minoritas Pakistan. Nama para korban adalah: Emrah Masih, 35, Qudoos Masih, 30, dan Irfan Masih, 11. Seorang ‘Pashtun' bernama Rozi Khan juga termasuk orang yang luka-luka.
Polisi dan militer telah menangkap paksa tujuh tersangka di tempat kejadian dan menemukan sebuah senjata pistol semi-otomatis dan senapan penyerangan Kalashnikov.
Media di Pakistan merekam kekerasan di Karachi sebagai bentrokan aliran antara umat Kristiani dan Islam ‘Pashtun' yang meningkat menjadi perang tembakan dan pembakaran yang dilakukan oleh umat Kristiani. The Daily Times menyatakan bahwa umat Kristiani memprotes tulisan grafiti yang secara terpampang di beberapa toko, termasuk warung pinggir jalan dan kereta-kereta dorong. Tetapi, seorang pekerja badan bantuan hukum mengatakan bahwa pihak kepolisian membubarkan umat Kristiani ketika mereka mulai memprotes dan hanya berdiri ketika pihak Taliban menyerang umat Kristiani disana.
"Umat Kristiani tidak memiliki pistol, mereka tidak memiliki senjata, tetapi hanya sedikit dari harta dan beberapa hal di rumah mereka," kata Sohail Johnson, Ketua koordinator Sharing Life Ministry Pakistan. "Mereka miskin dan tidak memiliki keberanian untuk melawan mereka. Bagaimana mungkin umat Kristiani, yang tinggal seperti binatang di sini melawan mereka?"
Seorang perwakilan dari Gerakan Muttahida Quami mengatakan setelah penembakan di keramaian, tentara Taliban pergi ke rumah umat Kristiani, menggedor rumah mereka lalu membakarnya. Dia juga mengatakan, pihak Taliban juga membakar Alkitab dan memukul perempuan di jalan. Laporan mereka mengenai dua orang kristiani yang dibunuh oleh pihak Taliban tidak dapat ditindaklanjuti karena sang pelapor tidak memiliki cukup bukti.
Pihak kepolisian dan administrasi Karachi mengklaim bahwa serangan tidak datang dari pihak Taliban, tetapi dari ‘Pashtun' yang merupakan salah satu kelompok Islam yang baru saja pindah dari perbatasan Propinsi daerah barat ke daerah mereka.
Memperluas Kampanye Kekerasan
Pejabat lokal khawatir pihak Taliban akan membuat kerusakan ke Karachi, pusat keuangan Pakistan, dengan cara yang sama mereka lakukan di Swat Valley, tepatnya di NWFP.
Pada pertengahan Februari, Swat Valley berubah menjadi benteng Taliban di bawah hukum syariah dengan sebuah "perjanjian damai," tetapi bukan menghormati perjanjian tersebut, kelompok militant muslim malah memperluas kampanyenya ke daerah-daerah terpencil dan bagian negara lain. Dari 500 orang Kristen yang tersisa di Swat Valley ketika hukum syariah diberlakukan pada bulan Februari, banyak dari mereka yang bermigrasi ke provinsi lain sementara mereka yang tetap tinggal hidup di dalam ketakutan akan meningkatnya kekerasan terhadap non-Muslim.
Populasi non-muslim di negara-negara yang berpenduduk mayoritas muslim sebesar 3 persen dari 176 juta penduduk. Mereka sering terpinggirkan, terutama di negara yang dipengaruhi sistem syariah yang memberikan pengutamaan kepada umat muslim. Tetapi, mereka takut penyusupan Taliban akan mempercepat pendudukan daerah dengan cara sembunyi-sembunyi, karena mereka tidak dapat memberitahu perbedaan antara pejuang Taliban dan anggota masyarakat.
"Kami tidak bisa mengidentifikasi yang mana yang merupakan pejuang Taliban karena ada banyak orang yang memiliki jenggot dan memakai sebuah ikat kepala," ujar Johnson.
Seorang guru setempat memberikan kesaksian bahwa ketika terjadi peristiwa perampasan barang-barang umat Kristiani oleh pihak Taliban, pihak kepolisian yang berada disitu hanya berdiri saja, tidak melakukan apa-apa.
Meskipun politisi dan pasukan keamanan Pakistan telah mengatakan secara terbuka bahwa dalam beberapa minggu, kelompok Taliban telah ditutup dari Islamabad dan dapat memicu keributan dalam pemerintahan, mereka mengklaim slogan-slogan pro-Taliban di Karachi tidak dibuat oleh kelompok Taliban tetapi, konspirator yang ingin menghasut kekerasan.
Maulana Fazlur Rehman, seorang pemimpin partai Islamis, mengatakan dibuatnya isu Talibanisasi di Karachi itu hanya sebuah cara dari Amerika Serikat agar bisa menyerbu Pakistan seperti yang telah mereka lakukan ke Afghanistan.
"Mereka menaikkan slogan ini untuk menciptakan Osama yang lain untuk Amerika di bagian dari dunia," kata Rehman, menurut The News International.
Serangan di Karachi adalah bagian dari kekerasan yang naik perlahan-lahan di seluruh bagian negara. Pemerintah Pakistan memberitahukan Majelis Nasional pada 20 April, bahwa 1400 orang telah tewas dalam serangan teroris dalam 15 bulan terakhir.
Sumber : cbn.com/bm